abstrak : para pakar eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM didasari pada lahirnya Magna Charta, yang kemudian di ikuti dengan lahirnya Bill of Rights yang perkembangannya lebih konkret. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai
dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham
Roesseau dan Montesqueu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar
The Rule of Law. Keberadaan HAM di Indonesia sebenarnya sudah lama ada, Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak
lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak), namun
hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri
agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat.
keyword : hak asasi manusia, sejarah perkembangan, sejarah perkembangan HAM internasional, sejarah perkembangan HAM nasional, dan Human Rights.
- SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
Pada umumnya para pakar Eropa berpendapat
bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di
Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki
kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat
pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai
pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal
hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai
dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus
mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai
dinyatakan dalam hukum bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada
rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak
berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai
embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai
simbol belaka.
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti
oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris
pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa
manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat
dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. kemudian berkembang lagi dengan
lahirnya teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat),
Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna
mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan
hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai
dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham
Roesseau dan Montesqueu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut
ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah
The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar
The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan
penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan
ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan
pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian
ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas
juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of
religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of
property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world."
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world."
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan
berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM
yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declarationof Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
- SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA NASIONAL
Deklarasi HAM yang dicetuskan di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika
dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami
malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan
Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung
makna ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar
negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya
masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati
dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar
terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung
pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria
objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan
yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterapkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterapkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan
hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak
dan kewajiban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights.
Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ?
Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan
ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula
menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap
masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban.
Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih
dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak
perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak
perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa
dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan
masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan
masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan
tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi
tidak memperkosa hak-hak orang lain. Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM
di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya,
Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam
implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya
negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang
benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki
kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain
sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM.
Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka
prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi
diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan
"penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak
mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi
bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak
dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang
berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu.
0 Response to "Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia (Internasional dan Nasional)"
Post a Comment
jangan takut berkomentar, karena komentar anda sangat kami butuhkan untuk membangun blog ini agar bisa lebih baik lagi.
Note: only a member of this blog may post a comment.